
Idealisme Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Pendidikan merupakan wacana yang selalu menarik perhatian masyarakat di Indonesia dalam berbagai media. Hal ini karena pendidikan merupakan indikator kemajuan peradaban suatu negara. Oleh karena itu, pemerintah cukup menyediakan dukungan anggaran yang begitu besar untuk proses pendidikan kita.
Pendidikan merupakan investasi penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kemajuan suatu negara. Oleh karena itu, pendidikan memerlukan sistem yang baik melalui suatu sistem yang disebut kurikulum pendidikan. Kurikulum yang dibuat harus merupakan kurikulum yang sangat baik dan sesuai dengan karakteristik negara.
Indonesia sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum sejak kemerdekaannya. Hal ini tentunya didasarkan pada perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, serta bertujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan Indonesia sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
Indonesia telah mengalami 11 kali pergantian kurikulum sejak kemerdekaan, menurut berbagai sumber. Setiap kurikulum yang diperkenalkan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun dalam kurikulum yang telah ditetapkan ada satu hal yang paling penting, yaitu berbicara tentang karakter dan mengembangkan potensi peserta didik, mengembangkan potensi bertakwa, berbudi luhur, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan orang mandiri. Warga negara yang demokratis dan akuntabel.
Melihat tujuan di atas, jelaslah bahwa pengembangan karakter dan potensi siswa merupakan hal yang sangat penting. Pada prinsipnya sama dengan apa yang dikatakan Ki Hajar Dewantara dalam pemikirannya tentang pendidikan. Ki Hajar Dewantara (1936) mengungkapkan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai ‘bimbingan dalam kehidupan tumbuh kembang anak’. Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses yang membimbing segala sifat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai derajat keselamatan dan kesejahteraan yang setinggi-tingginya.
Kesadaran akan Sifat dan Keadaan Anak
Pendidikan adalah pedoman, namun Ki Hajar Dewantara juga menjelaskan bahwa pendidikan berkaitan dengan sifat dan keadaan setiap anak.
Pada dasarnya setiap anak memiliki sifat dan kepribadian yang berbeda. Beberapa anak memiliki fondasi alami yang baik, sementara yang lain memiliki fondasi yang buruk. Namun keduanya membutuhkan bimbingan dengan tujuan yang sama agar tidak terpengaruh secara negatif. Yang membedakan mereka adalah metode pengobatan dan perawatan yang berbeda. Ini adalah dasar pembelajaran yang berfokus pada karakteristik anak.
Yang harus dihindari adalah diskriminasi dalam proses pembelajaran. Pada prinsipnya pembelajaran tidak perlu dibeda-bedakan, tetapi tentunya ada pemetaan awal yang dapat dilakukan dalam diagnosa awal pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk mencerminkan kemampuan dan kondisi anak. Dalam proses pembelajaran, perhatian lebih harus diberikan tidak hanya pada kompetensi pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada sikap dan perilaku dasar.
Tetapi kita harus percaya bahwa wajar bagi anak-anak untuk datang ke dunia ini dalam keadaan suci. Ini berarti bahwa anak tersebut secara alami dilahirkan dengan kondisi yang bersih. Tapi ingat, fisik dan mental, atau “karakternya” tidak lepas dari genetik yang diwarisi dari orang tuanya. Kejahatan tidak boleh diabaikan. Perilaku mana yang muncul lebih kuat bergantung pada lingkungan tempat ia hidup. Oleh karena itu, dasar utamanya adalah pola asuh keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Peran keluarga dan lingkungan memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan perilaku anak.
Jika seorang anak tinggal di rumah dan lingkungan yang baik, hal ini sangat berpengaruh pada kesejahteraan anak. Sebaliknya, jika keluarga dan lingkungan Anda tidak baik, kepribadian Anda mungkin baik, tetapi hal ini dapat berubah dan berdampak negatif. Hal ini menjadi dasar bagi para pendidik untuk mengidentifikasi kepribadian anak saat memasuki dunia sekolah.
Jika seorang pendidik mengetahui kepribadian dasar anak pada awal pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristik siswa. Hal ini untuk memastikan bahwa bimbingan dalam proses pendidikan tepat dan disesuaikan dengan situasi siswa. Hal-hal tersebut ditekankan dalam pikiran Ki Hajar Dewantara.
Tantangan Pendidikan Kita
Memang banyak perubahan yang kita alami dalam perkembangan pendidikan kita. Idealnya, pemerintah menyarankan agar pendidikan berubah menjadi lebih baik dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun, dalam penerapan itu tidak mungkin lepas dari permasalahan dan permasalahan yang muncul. Ini adalah tantangan besar bagi setiap pendidik.
Perubahan sistem kurikulum yang diperkenalkan pemerintah dalam waktu singkat menimbulkan tantangan unik bagi guru untuk beradaptasi dengan cepat dan mengembangkan keterampilan sehingga mereka dapat menerapkan kurikulum seperti yang diharapkan. Tantangan lain bagi para pendidik adalah pesatnya perkembangan teknologi di era digital dan generasi milenial saat ini. Era ini disebut juga kebangkitan Generasi Z.
Menurut Tabrani Yunis (www.education.id:2018), Generasi Z dikenal sebagai generasi yang lahir di Internet, generasi yang menikmati keajaiban teknologi setelah lahirnya Internet. Bagaimana dengan institusi yang didominasi oleh Generasi Y dan Generasi X? Akan sangat berbahaya jika guru Generasi X tidak mau menghadapi evolusi gaya hidup Generasi Z. belakang secara teknis. Akibatnya, terjadi keretakan atau jurang pemisah antara guru dan siswa. Guru dan tenaga kependidikan bergerak dan berpikir dengan pola kuno, sedangkan siswa bergerak dan berpikir dengan pola milenial dimana teknologi digital sangat cepat dikuasai.
Kondisi menjadi tidak sehat dan menjadi masalah bagi para guru tradisional, membuat para pendidik berada dalam posisi yang genting. Perilaku dan kepribadian yang didorong oleh perubahan cepat yang terjadi pada anak-anak Milenial dan Generasi Z yang sangat cepat berubah dan perubahan yang semakin liberal dalam nilai-nilai moral, sosial dan budaya baru Ini adalah tempat di mana moralitas, etika, dan moralitas menjadi semakin berkurang. Dengan kata lain, jika anak-anak Milenial dan Generasi X menguasai semua kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, mereka tidak akan gagap dengan teknologi yang menyebabkan mereka tumbuh lebih cepat dari mereka. Berbekal pengetahuan dan keterampilan menggunakan teknologi digital, siswa dapat belajar lebih cepat dari gurunya. Oleh karena itu, pengetahuan siswa bisa lebih luas, apalagi jika guru kelahiran Generasi X kurang semangat dan termotivasi untuk belajar. Guru kemudian dapat menjadi kewalahan dan tertinggal.
Hal lain yang perlu dikhawatirkan adalah cepatnya anak-anak Milenial dan Gen Z merangkul teknologi digital tanpa diberkahi dengan keimanan dan akhlak mulia, membuat banyak dari mereka terjebak dalam apa yang disebut dengan kerusakan moral. Pengembangan siswa yang dikelola dengan buruk dan tidak bijaksana membuat anak-anak Milenial dan Gen Z tidak bermoral. Moral yang rendah menghadirkan tantangan yang sulit bagi guru dan masyarakat.
Inilah titik kritis di mana kita harus membuka halaman pendidikan kita. Perlu dipahami kembali bahwa Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik dari Indonesia, memberikan pandangannya tentang pendidikan kita. Dia percaya bahwa pendidikan harus dilihat dari sisi manusia, dari sisi yang lebih psikologis. Menurutnya, manusia memiliki kekuatan spiritual seperti kreativitas, spontanitas, dan karya. Pertumbuhan seluruh pribadi membutuhkan pertumbuhan yang seimbang dari semua kekuatan. Perkembangan yang terlalu terfokus pada satu kekuatan menyebabkan perkembangan yang tidak sempurna sebagai manusia. Dikatakannya, pendidikan yang hanya menekankan sisi intelektualitas hanya akan mengasingkan siswa dari masyarakat. Ternyata pendidikan selama ini hanya menekankan pada pengembangan kreativitas, dengan sedikit perhatian pada pengembangan rasa dan karsa, saya akan kalah.
Dengan mengingat hal di atas, kini saatnya para pendidik terus berbenah untuk meningkatkan pembelajaran. Sudah saatnya para pendidik mengambil tindakan nyata untuk terus bergerak dan belajar sehingga bisa memberikan tuntunan yang diharapkan bagaimana manusia bisa menjadi lebih manusiawi. Intinya di sini adalah kembali ke fungsi hakiki pendidikan yang sebenarnya, untuk mengembangkan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, dengan karakter dan individualitas yang utuh.
Selain itu, pendidik harus berpikiran terbuka dan visioner. Kita tidak bisa berpaling dari perkembangan zaman yang berpusat pada inovasi teknologi. Pendidik harus paham teknologi, tetapi mereka juga harus menyeimbangkan karakter yang baik dan mengembangkan individualitas pada anak-anak.
Guru yang berkompeten bertanggung jawab dalam pengajaran, hubungan dengan siswa dan warga sekolah (hubungan dan komunikasi), dan hubungan dan komunikasi dengan pemangku kepentingan lainnya (orang tua, komite sekolah, pemangku kepentingan), aspek administrasi pendidikan, dan sikap yang baik profesionalisme. Sikap profesional ini termasuk, namun tidak terbatas pada, keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, penting juga untuk membangun etos kerja yang positif: ketekunan dalam bekerja, pemeliharaan harga diri dalam melakukan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam konteks ini, kemampuan kinerja seorang profesional secara fisik, intelektual, sosial, kepribadian, nilai, spiritualitas, dan motivasi juga penting.Kita perlu meningkatkan kualitas kinerja kita yang proaktif, produktif dan kolaboratif.